Belajar Berani dari Si Kecil – Sebuah Catatan Perjalanan Bocah yang Baru Belajar Sepeda

 Saya menulis ini hanya sebagai sebuah catatan kecil yang mungkin suatu hari akan berguna untuk orang lain. Self reminder, ketika saya atau Anda tiba-tiba merasa kecil hati dan tidak mampu meraih yang Anda inginkan.

Kisah ini dimulai setelah beberapa bulan pandemi melanda negeri ini. Ketika anak-anak harus belajar di rumah, merelakan waktu bermainnya di luar.

Si kecil mulai bosan, setiap hari meradang dan blingsatan. Kami yang begitu khawatir membatasi waktu bermainnya, tapi kelihatannya ia tak terima.

Apalagi saat itu musim sepeda dimulai. Setiap pagi atau sore, bahkan di siang hari anak-anak komplek riang berseliweran dengan sepedanya.

Ia tak mau ketinggalan, meski tak pandai naik sepeda. Terkadang dipinjamnya sepeda seorang teman dan dicoba mengayuh sekali dua kali. Terhuyung-huyung, tapi dia tetap mencobanya.



Anak-anak di komplek rumah kami
bersepeda sepanjang hari,
selama pandemi Covid19.
Saya memperhatikannya dari jauh saat bermain di luar, sambil mengawasinya untuk tetap menjaga jarak dengan teman-temannya. Keinginannya untuk bersepeda sudah mulai mengusik sebagian teman. Ada yang merasa terganggu karena ia berlari mengejar temannya yang sedang asik bersepeda. 

Dan tentu saja, makin lama makin sulit mendapatkan pinjaman sepeda. Siapa juga yang mau repot meminjamkan, saat mereka sedang asik kebut-kebutan.

Ujungnya, seseorang melarangnya bergabung dengan mereka karena ia tak punya sepeda dan tak bisa naik sepeda.

Saya ingat dia pulang dan menangis. Patah arang, hati saya pun hancur berkeping-keping mendengar ceritanya. Saya tak ingin mengasihaninya, walau dalam hati rasanya ingin memeluknya erat-erat karena iba. Saya hanya mengusap punggungnya dan mencoba memberi semangat. "Sabar, kita nabung dulu ya.."

Ia makin jarang bermain di luar. Hatinya meyakinkan diri bahwa temannya bukan teman sejati yang bisa diajak berbagi. Ia pun mencoba membiasakan bermain seorang diri di rumah.

Tapi... saat sore tiba, riuh rendah tawa anak-anak yang hilir mudik dengan sepeda seolah memanggilnya. Ia akan duduk di depan jendela, atau bahkan mengintip dari balik pagar dengan tatapan tak berkedip.

"Okelah Nak, kita akan beli sepeda," ujarku mantap, sambil membesarkan hatinya. Melihat senyumnya yang tiba-tiba merekah hati ini pun rasanya jadi berbungah. Meski kepala langsung berdenyut memikirkan celengan mana yang harus dibobol.

Yah.. tak ayal wabah Corona  membuat bayangan masa depan sedikit berkabut. Untuk kesekian kalinya kami memang harus mengencangkan ikat pinggang.

Saya menyuruhnya tak henti berdoa, menyemangatinya agar ia bisa menegakkan kepala menghadapi setiap bully (atau boleh dikatakan kritik) dari orang lain. Tetap bersikap baik dengan teman, meski dijauhi dan tidak disukai.

Sebisa mungkin saya menjaga ucapan, agar ia tidak mendengar keluhan atau rasa iba. Sungguh wajar, menurut saya, jika ucapan, "Duh kasihan banget sih kamu Nak," keluar begitu saja dari mulut seorang ibu. Tapi saya kulum bibir saya dalam-dalam agar tidak terdengar bisikan itu.

Kami pun mulai mencari sepeda di katalog toko online. Memilah-milah sambil memeras otak mencari pilihan yang pas dengan kocek yang ada.

Dan ternyata Allah menjawab doa-doa kami lebih cepat. Di tengah pencarian kami, seorang teman sekolah si kecil menghadiahkan sepedanya yang sudah tidak dipakai. Sepeda yang berukuran sedikit lebih mungil dari badan si kecil, namun kondisinya masih sangat terawat.

Tak ada yang lebih bahagia dari seorang anak yang mengayuh sepedanya sendiri. Meski terseok-seok, susah payah dikayuhnya hingga terjatuh-jatuh. Tak jarang ia pulang dengan badan memar, atau luka ringan. Ajaib, dia tidak menangis!  Tidak mengeluh. Matanya hanya memancarkan sinar bahagia.

Kami pun memasangkan dua roda tambahan agar ia bisa belajar dengan nyaman. Dan betul saja. Sepanjang jalan ia mengayuh lancar sambil tersenyum gembira.



Ia mengayuh dan mengayuh, beberapa kali terjatuh. Terus begitu sepanjang hari. Dalam dua hari ia mencoba melepas satu roda. Dan hari berikutnya ia mantap meminta lepas seluruh roda bantuan.

Rasanya dada ini ingin membuncah menyaksikannya hilir mudik dengan sepeda roda dua. Walau masih meliuk-liuk, berjalan miring kiri dan kanan, ia berhasil membuat air mata saya menetes haru. Teringat bahwa kemarin, seumur hidupnya ia tak pernah menggowes sepeda. Kini ia bisa membuktikan diri, ia bisa!

Hari kelima jalannya sudah mulai lurus, hari ketujuh ia mulai tancap gas. Tak sampai sebulan ia sudah bisa berdiri sambil menggowes dan melepas satu tangannya.

Sampai detik ini saya masih haru mengingatnya. Di usianya, saya mungkin tidak sekuat dia menghadapi tantangan dan kritikan dari orang lain. Meyakinkan diri, menegakkan kepala, dan tidak mengeluh.

 


Sungguh saya pun malu, setua ini masih peragu, beberapa hal yang coba saya pelajari tidak tuntas karena saya tidak yakin dengan diri sendiri. Ironis, padahal saya hampir selalu mengajarkan anak saya untuk percaya diri.

Mungkin memang di situ perbedaannya. Ia belum mengenal social media, tak tahu apa itu julid, nyinyir, belum pernah diserbu komentar netizen yang tak jarang bikin baper. Hanya satu yang mungkin ada di benaknya, “Aku harus bisa, gimana caranya?”

Si kecil, seperti anak-anak pada umumnya selalu ingin mencoba hal baru. Gagal, ia bangkit dan coba lagi. Kadang sedikit berimprovisasi, menjajal hal-hal yang bahkan tidak pernah dipikirkan orang dewasa. Gagal lagi, ia pun sibuk bereksplorasi di sudut yang berbeda. Yang mungkin sering diterjemahkan orang dewasa sebagai : nakal.

Namun, sesungguhnya ia hanya menjelajahi peta dalam otaknya, bereksperimen, mencatat sejarah kecil yang kelak akan ia ingat dengan bahagia saat dewasa kelak. Di saat itulah ia akan tumbuh menjadi manusia yang kaya dengan kreativitas tanpa batas.

Iri? Sudah pasti saya iri dengannya. Betapa manusia tumbuh dengan sejuta pikiran yang membebani langkahnya. Tapi tak ada kata terlambat untuk untuk mencoba. Bukankah itu yang dilakukan si kecil ketika jatuh dari sepeda, ya bangun lagi, coba lagi.

Comments