Kopi : Tak Selalu tentang Rasa

Kopi adalah ritual bagi saya. Seperti kebanyakan orang, kopi menjadi candu yang tak terelakkan, terutama saat mood lagi di titik nadir, garis terbawah di ambang batas kelelahan fisik dan mental.
Saya biasa menikmati kopi mix sasetan yang gampang banget didapat di warung, seperti Good Day, Indocafe Coffeemix, atau Kopi Luwak. Rasa pahit kopi yang menjadi legit karena gula dan krim (buat saya) bisa merubah suasana hati dan cara kerja otak. 

Meski kalau ditanya, sebenarnya passion saya adalah kopi hitam Robusta dari Aceh Gayo, disajikan tanpa gula. Rasa pahitnya yang bikin kening berkerut saat pertama kali mencecap justru bikin nagih untuk menyeruput lagi, lagi, dan lagi. Dan satu jenis kopi dari Aceh yang saya suka adalah Sanger. Kopi susu khas Aceh yang dibuat dengan cara yang tak biasa. Kopi disaring dan ditarik dengan saringan yang sering dibilang orang mirip kaos kaki, hihihi.. Tapi rasanya mantap, buat saya beda dengan kopi susu biasa.

Pembuat kopi Keude Kupie Ulee Kareng, Medan, meramu kopi Sanger, kopi susu khas Aceh.  

Tak soal kalau saya sulit menemukan kopi Gayo yang nikmat di Jakarta. Buat saya, kopi bukan melulu tentang rasa. Tapi cara menikmatinya. Meski pesan kopi enak di Starbucks, rasanya kurang ternikmati kalau cuma punya waktu sebentar, dapat tempat duduk yang nyempil, dihimpit pengunjung kafe yang padat, atau pas anak lagi rewel kecapekan pengen pulang. Hadeeh...

Timing ngopi buat saya itu penting banget. Karena saya sangat menikmati taste, flavor, dan suasana. Maunya sih.. Ngopi di kafe pagi hari. Kafe baru satu jam buka. Pesan secangkir piccolo atau latte hangat. Menikmati musik indie yang mengalun pelan. Sambil bawa laptop, nulis deh.. Hehehe.. Selain candu kopi adalah inspirasi. Kl udah gitu saya rela seharian nongkrong sampai jebolin uang belanja, hahaha..
Ngayal boleh kan..

Kopi buat saya juga tidak boleh dinikmati langsung. Ada sensasi rasa yang sayang dilewatkan kalau kita langsung mencecap cangkir kopi. Inspirasi menikmati kopi ini pertama kali saya dapat dari serial Ally McBeal-serial tentang pengacara wanita yang mandiri, pintar, tapi konyol. 

Ally menikmati segelas kopi perlahan. Dimulai dengan menggenggam gelas menghirup aroma kopi yang masih panas. Lalu melekatkan bibir ke gelas seolah mau minum, tapi nggak jadi. Dihirup lagi dan dilepas lagi. Sampai timbul rasa yang kuat ingin minum kopi itu tapi belum kesampaian. Hingga timbul rasa kesal dan kopi pun diminum. 

Penasaran, saya pun mencontoh. Memang ada bedanya. Sensasi minum kopi jadi lebih dahsyat. Rasanya seperti menggoda hati, menggelitik hasrat yang mulai menggebu saat memegang gelas kopi hangat yang meruapkan aroma nikmat, dan sedikit memancing emosi. Tapi kemudian diredam dengan tegukan pertama yang nikmat. Rasa nikmatnya itu sampai ke ubun-ubun. Hahaha.. Agak lebay ya?

Setengah cangkir espresso Gayo, di Bakoel Kopi Tan, kedai kopi Gayo dekat rumah.

Ini saya coba saat minum kopi gayo. Kopi ini teksturnya memang kasar. Saat disedu dengan air panas, ampas kopi akan naik mengambang. Jika diminum langsung akan berakibat fatal bagi bibir (minimal jontor) dan lidah jadi kelu kepanasan. Ampas yang terbawa ke tenggorokan akan mengacaukan rasa. Akibatnya Anda akan meludahkan butir-butir kasar yang nyangkut di mulut berulang-ulang. 

Butuh waktu untuk kopi Gayo mematangkan dirinya, mengendapkan butiran kasar dan menciptakan rasa nikmat yang bakal lumer di lidah. Dan ini akan Anda rasakan sekitar 30 menit kemudian, saat kopi panas beralih ke hangat, saat butir-butir kasar itu mengendap, sebagian minggir ke pinggir gelas.
Dengan atau tanpa gula, kopi gayo justru nikmat di kala hangat hingga menuju dingin. Bahkan buat saya semakin lama semakin nikmat. 

Aduuh jadi pengen ngopii..

Comments