Kisah Anak Nelayan Melawan Bajak Laut - Sebuah Resensi Buku Si Anak Badai



ADA yang lebih dari sekadar kebahagiaan berenang dan menyelam ke kedalaman sungai mengambil uang logam yang dilempar penumpang kapal. Ada juga yang lebih baik dari memancing sejumlah ikan dan menjualnya ke pasar.

“Bangun Za, kita ini anak pelaut sejati, dibesarkan oleh angin dan badai. Bangunlah Zaenal.”

Demikian ucap Awang kepada Zaenal (biasa disapa Za). Di sisinya ada Ode dan Malim. Mereka berempat lahir dan besar di riaknya sungai, kuat dan tangguh didera ombak dan badai di lautan. Merekalah anak-anak sungai beribukan laut. Satu kekuatan saja yang mengancam, mereka akan bangkit untuk melawan.

Inilah kisah heroik Si Anak Badai, petualangan seru empat anak kelas 6 SD di Kampung Manowa, sebuah kampung berlantaikan papan ulin yang terapung di muara sungai, dan berhadapan dengan lautan.



Jalan Cerita


Membaca buku Tere Liye yang satu ini, saya seperti berada di kapal yang melintas dan singgah di muara. Anak-anak terjun ke air untuk menyapa para penumpang kapal yang melempar uang logam. Di antara para perenang ulung itu ada Zaenal, Ode, Malim, dan Awang. Empat sahabat yang dijuluki Si Anak Badai, karena berhasil melewati badai besar yang nyaris menggulung kapal mereka saat berlayar berburu cakalang.

Dari sudut pandang Za, Tere Liye, penulisnya, bertutur tentang kehidupan anak-anak nelayan yang bersahaja, jujur dan apa adanya. Tetap ceria meski dalam keterbatasan ekonomi. 


Namun keceriaan anak-anak ini tiba-tiba terganggu oleh kedatangan Pak Alex, atau yang dipanggil si Bajak Laut karena menggunakan penutup mata satu. Pak Alex bersama camat dan utusan gubernur akan mendirikan sebuah pelabuhan besar di Manowa.

Rencana besar yang sebenarnya tidak layak jalan ini mengancam keberadaan Kampung Manowa. Para nelayan memasang sikap menolak, yang berujung penangkapan Pak Kapten-seorang tokoh kampung yang dihormati. Para pekerja pembangunan pun mulai berdatangan, tak ketinggalan dengan alat-alat beratnya. 

Za, Ode, Malim, dan Awang pun tak terima. Sekolah mereka dirobohkan. Mereka menyusun siasat. Sebuah bukti disimpan oleh Pak Alex di kapal yacht yang dijaga oleh banyak tukang pukul.

Buku ini diakhiri dengan aksi keberanian si anak badai untuk mendapatkan bukti yang akan menggagalkan pembangunan pelabuhan, sekaligus membebaskan Pak Kapten.

Balutan kisah tentang kehidupan nelayan Indonesia menjadi kemasan menarik pada buku bergenre cerita anak ini. Beralur maju, dengan konflik yang sederhana namun cukup mendebarkan. Penulis menggunakan diksi bahasa Indonesia yang baku dan umum. Gaya penulisannya pun ringan, santai. 

Karenanya, menurut saya buku ini cocok dibaca anak dan remaja. Namun orang dewasa pun bisa menikmatinya,  karena bacaan ini sungguh ringan, renyah, tak membuat kening berkerut.

Karakter yang Kuat

Cerita apik Si Anak Badai ini tak lepas dari penokohannya yang kuat. Peran utamanya, Zaenal, adalah anak yang cerdas, pemberani, dan setia kawan. Sedangkan Ode, selalu merasa tidak beruntung, melankolis. Awang, tidak terlalu pintar tapi jago menyelam. Serta Malim, berbakat memancing dan bercita-cita jadi saudagar.

Karakter tokoh pendukung lainnya pun tak kalah menarik, seperti Mamak, yang tegas dan kebalikannya, Bapak, sosok yang lemah lembut terhadap keluarganya. Pak Kapten yang galak dan tegas serta Pak Alex yang jahat dan culas. Dan kisah heroic anak-anak ini pun semakin marak dengan hadirnya sosok-sosok lain seperti, Fattah, Thiyah, Rahma, dan Mutia.

Di akhir kisah, muncul pula sosok pengacara ternama, pria paruh baya dengan rambut dipenuhi uban, Adnan Buyung. Penulis memang tidak menyertakan nama marga di belakangnya, namun kehadiran Adnan Buyung yang digambarkan mirip betul dengan aslinya ini, memberikan kejutan manis untuk pembaca.  

Penokohan yang kuat ini membuat kisah itu hidup di mata pembaca. Ini juga yang membuat saya tertawa serta sedikit haru. Kisah yang sebenarnya sangat ringan dan sederhana itu sudah mengaduk emosi saya.


Bacaan ringan, berbobot, yang berhasil mengaduk emosi saya. 
Unsur Ekstrinsik

Si Anak Badai adalah satu dari seri buku Anak Nusantara karangan Tere Liye. Buku setebal 318 halaman ini dicetak dengan jenis kertas book paper, plus sebuah pembatas buku.

Cover bergambar lukisan perahu dilamun ombak saat senja cukup merepresentasikan kehidupan genk Anak Badai dan para nelayan di Kampung Manowa.

Namun sayangnya tidak ada bab pengantar atau pembuka, yang menggiring pembaca pada latar belakang penulisan cerita ini, bahkan tulisan yang menerangkan seri buku Anak Nusantara lainnya. 

Jujur sih, setelah membaca buku ini, saya pun ingin membaca buku seri Anak Nusantara lainnya. Sedikit bocoran akan membuat saya lari lagi ke toko buku untuk membeli yang lainnya.  

Bagian-bagian Terbaik

Seperti biasa, Tere Liye selalu menyisipkan kata-kata yang berkesan bagi pembaca. Ada berbagai pesan moral di dalamnya, tentang kehidupan nelayan yang bersahaja, tentang persahabatan, kasih sayang ibu, dan kecintaan pada kampung halaman.

Dari semua buku anak yang saya baca, buku ini menjadi salah satu buku yang mampu menggetarkan emosi saya, sebagai seorang ibu, maupun sebagai anak dari seorang ibu.

“Kau boleh jadi benar, Fat, tumis kangkung ini memang hambar. Tapi rasa hambar itu bisa tetap lezat kalau kalian tahu besarnya perjuangan Mamak menyiapkan tumis kangkung dan tempe goreng ini.

Kalian lihat sendiri, Mamak menjahit siang dan malam, Mamak pasti capek. Mesin perahu saja kalau dipaksa menyala terus menerus akan sangat panas. Bisa-bisa meledak. Padahal itu mesin perahu yang kerjanya itu-itu saja. Oi, Mamak sebaliknya, dia harus mencuci baju, menyetrika, membersihkan rumah, menyiapkan makanan. Mamak melakukan segalanya di rumah ini bukan?

Hebatnya, mamak kalian melakukan hal yang luar biasa itu di tengah kesibukannya menjahit. Maka rasa hambar yang tidak enak di lidah Bapak malah terasa lezat.” (hal.122)

Percakapan lain yang membuat saya mengharu biru adalah :

“Nanti kalau jahitan ini selesai, Thiyah, Fattah, dan Zaenal akan aku bawa ke pasar terapung, Bang. Aku akan bebaskan mereka beli makanan apa saja. Biar mereka tahu aku sungguh sayang pada mereka bertiga.”

Di ruang tengah aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca tak tertahankan. Aku menangis. Aku baru tahu betapa sayangnya Mamak kepada kami.

“Ada cara yang tidak perlu menunggu nanti-nanti Fatma.”

“Apa itu Bang?”

“Datangilah mereka sekarang juga. Cium mereka satu per satu. Itu akan menjadi embun di hati kau, juga di hati mereka.” (hal.133-134)

Dan, hati saya sebagai pembaca pun meleleh.


Di lain bab, Tere Liye menyentuh sisi hati saya yang berbeda dan tak kalah menggetarkan jiwa. Adalah bab 17, tentang perjuangan Za, Ode, dan Awang untuk menyadarkan Malim yang tidak mau sekolah lagi.

“Mengapa kalian masih kemari?” Malim terisak.
“Kami kawan kau, Lim. Kami tidak akan menyerah semudah yang kau kira.” Aku berkata pelan, “Kau harus kembali ke sekolah. Tenang saja, besok-besok, aku percaya kau bisa jadi saudagar besar.” Kepala Malim tertunduk.

“Maafkan aku Za. Maafkan aku Awang, Ode.”Malim menyeka air matanya di pipi. Kami bertiga mendekat. Malim memeluk kami erat-erat.
Aku menengadah,  memandang langit. Ikut menyeka pipi. 
Seorang kawan tidak akan meninggalkan kawannya sendirian. (hal.202)

Kelemahan

Meski dikemas dalam cerita yang apik, SI Anak Badai tak lepas dari beberapa kelemahan. Saya tergelitik dengan bagian penyelesaian cerita yang terkesan mudah dan cepat sekali berlalu.

Keempat sahabat ini bermaksud mencuri hasil kajian struktur tanah kampung yang menyatakan pembangunan tidak layak jalan. Mereka beraksi ke dalam kapal yacht yang hanya dijaga tukang pukul. 


Lepas dari keberhasilan empat anak tersebut, kita tidak mendapatkan cerita pengamanan yang ketat, tidak ada CCTV, senjata, atau hambatan lainnya.

Konflik yang diciptakan terlalu sederhana, dan mudah juga diselesaikannya. Iyalah, sah-sah aja sih sebenarnya.. karena kisah ini ditujukan untuk pembaca anak.


Daftar isi Si Anak Badai.
Selain itu, saya mencoba menerka di mana persisnya Kampung Manowa berasal. Penulis tidak menyebutkan secara gamblang nama daerah tersebut. Namun dari nama makanan yang dimasak mamak Zaenal-Gulai Pelus, letak Manowa bisa dikira-kira. Gulai tersebut adalah nama makanan yang berasal dari Bengkulu.

Ada atau tidak ada di peta, latar belakang tempat dalam cerita memang hak sepenuhnya penulis. Dan secara subyektif pula saya lebih menyukai cerita dengan lokasi yang jelas dan pasti ada di peta. 

Hal ini menurut saya lebih menarik apalagi jika penulis lebih banyak menonjolkan sisi-sisi tradisi dan budaya yang tidak banyak diketahui orang. Kalau ini sih bukan hanya pembaca yang tertarik, mungkin produser atau sutradara film juga bakal tertarik membuat filmnya.

Kelebihan

Namun satu hal yang muncul dan bergejolak dalam dada saya usai membaca Si Anak Badai. Yaitu sebuah pesan moral akan kecintaan pada tanah air (baca: kampung halaman), pada bumi tempat dipijak. Serta keberanian untuk melawan ketidakadilan, sebesar apapun risiko yang diambil.

Gaya bertutur penulis yang ringan dan sangat mudah dicerna, namun sukses membuat saya tersenyum, tertawa, dan haru. Buku ini menyentuh hati saya sebagai pembaca dengan segala kesederhanaannya. Tak heran Tere Liye menjadi salah satu pengarang yang sangat dinanti oleh pembacanya.

Kesimpulan yang saya bisa ambil sehabis membaca buku ini adalah, nagih! Oi, saya kok jadi ingin baca seri anak yang lainnya ya..


Comments