Denyut Pagi dari Balik Gedung Pencakar Langit

Matahari belum lagi beranjak dari peraduan. Oji dan Nana sudah mulai membuka warungnya. Kue-kue ditata di nampan. Teh disedu di dalam teko. Uapnya mengepul, meruap menggoda bapak-bapak yang baru pulang dari shalat subuh di mushola.
Sebagian mengurungkan waktu untuk pulang. Mencomot pisang goreng dan duduk di kursi panjang lalu memesan teh. Ngobrol ngalor-ngidul sambil menunggu kue-kue lain diantar. Jajanan pasar plus kue-kue khas Betawi menemani pagi yang dingin. Kue awug, cincin, talam, pisang goreng, arem-arem, bersanding dengan teh yang hangat.
Ada juga nasi uduk lengkap dengan lauk semur dan balado kentang buat yang kelaparan. Lengkap juga dengan cemilan gorengan tahu isi, tempe, bakwan, dan risol.
Celoteh riang dan lugas Nana memecah kesunyian pagi, seolah memanggil warga sekampung dan mereka yang lewat untuk singgah di warung sederhana yang dihimpit pembangunan kota yang semakin pesat dan modern.
Hari mulai terang dan warung pun semakin ramai. Sejurus kemudian datang tukang jamu, tukang ayam goreng, tukang tahu bandung, mangkal tak jauh dari warung Nana dan Oji. Ketika matahari sudah beranjak tukang sayur pun menghabiskan waktunya di sana.
Orang-orang berdatangan, dan selalu datang. Anak sekolah, orangtua antar anak sekolah, para karyawan, pedagang, pengangguran, ibu-ibu rumah tangga, yang baru pulang jogging, yang baru pulang jaga malam, dan lain-lain. Belanja kue, sarapan, membeli jamu, bertegur sapa. Bertemu orang atau mencari orang.
Bagaikan magnet, di tempat itu orang berkumpul. Ibarat tubuh, warung Nana adalah jantung,yang berdenyut. Sebagian mengais rezeki yang lain mengisi perut. Orang datang dan pergi, untuk kemudian datang lagi.
Jelang siang satu per satu pergi. Warung mulai sepi. Nana, perempuan separuh baya itu berkemas. Sebagian kue sisa diberikan kepada tetangganya yang sudah tua.
Kehidupan seperti berhenti. Denyutnya pindah ke tempat lain. Ke gedung-gedung tinggi, rumah-rumah, dan tempat bekerja yang lain. Jakarta kembali ke wujud aslinya yang dingin dan kaku.
Sekejap hilang wajah-wajah ramah penuh sapa, berganti wajah lesu dengan kening berkerut. Berharap sore segera tiba, saatnya untuk pulang.
Tak ubahnya seperti saya, yang lesu menatap warung yang tutup di hari Sabtu pagi. Lapar. Makan apa ya?

Comments